Tifa at-Taqiya ...

Write your dream on the paper with a pencil hope, and let Allah erases some part to change with great story..

Kamis, 10 April 2014

Demokrasi : Tak punya misi, populer pun jadi

Berbicara tentang pemilihan pemimpin, sejatinya pemimpin ialah yang dikenal masyarakat dan memiliki kapabilitas. Namun, bagaimana jika calon tak memiliki kapabilitas namun populer ? Dengan politik pencitraan semuanya bisa teratasi. Lihat saja, iklan politik banyak diputar dibeberapa stasiun TV. Bahkan, di sebuah stasiun televisi pernah ditayangkan acara reality show yang merekam aksi “blusukan” salah seorang calon presiden, hal tersebut demi meraih simpati rakyat dan mendongkrak popularitas sang calon. Popularitas seolah menjadi syarat utama bagi para calon presiden dan calon anggota legislatif. Terbukti, dalam pemilu 2009 popularitas semata mampu menghantarkan para calon ke posisi yang diharapkan. Urusan kapabilitas? Jarang menjadi sorotan.


Setidaknya ada 2 hal yang membuat hal ini terjadi. Pertama, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kepimimpinan. Dimana masyarakat lebih sering disodorkan protet pemimpin yang arogan , sewenang-wenang, koruptor dll.  Seringkali disakiti, membuat masyarakat menginginkan sosok pemimpin yang ramah , terlihat dekat dengan rakyat, wong cilik dll. Melihat kondisi ini, praktis parpol pun tak perlu repot-repot . Cukup menyodorkan calon yang bermodal ‘tampang pintar’, ‘empati’ dan rajin blusukan , maka parpol pun dapat meraup suara yang banyak dari masyarakat.

Kedua, sistem saat inilah yang mengkondisikan fenomena ini terjadi. Demokrasi yang saat ini diterapkan tidak memiliki kriteria pasti dalam memilih calon pemimpin. Sehingga wajar, calon pemimpin yang akan diusung pun pasti akan disesuaikan dengan permintaan pasar. Demokrasi juga tidak punya sistem yang selektif dalam mencari calon  pemimpin . Sebab di alam demokrasi , siapapun berhak bersuara , bahkan menjadi pemimpin tanpa melihat statusnya, ilmu, dan kemampuannya. Maka saat ini wajar , jika suara seorang gay sama dengan seorang ulama. Oleh karena itu, sulit menemukan  sosok pemimpin yang ideal dalam  politik praktis demokrasi saat ini.

Tentunya ini sangat berbeda dengan Islam. Dalam Islam, aspek kapabilitas merupakan hal yang sangat penting dan menjadi hal yang utama. Islam telah mensyaratkan 7 kriteria bagi para calon pemimpin (Khalifah) : Muslim, Laki-laki, baligh, berakal, adil, mampu merdeka  (bukan budak).  Dimana, seorang pemimpin harus menempatkan segala permasalahan sesuai dengan hukum syara’ . Sehingga urusan rakyat mampu terurusi dengan baik sesuai dengan aturan islam, dan otomatis mampu menghasilkan kesejahteraan.
Bahkan pada zaman kekhalifahan Umar bin khattab , masyarakat tidak mengenali bagaimana rupa sang khalifah.  Begitu pun kedekatan terhadap masyarakat,  kedekatan pemimpin dan masyarakat bukanlah hal yang langka pada zaman daulah dahulu. Sebab, seorang khalifah sudah biasa memanggul bahan makanan, mengunjungi rumah-rumah warga, dll.


Sosok pemimpin dan kepemimpinan yang berkualitas tak lepas dari adanya sebuah sistem yang mampu mencetak dan menyeleksinya dengan baik. Semua itu merupakan hasil diterapkannya Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, melihat fakta demokrasi yang tidak mampu menghasilkan sosok  pemimpin yang kapabel , maka tidak ada kata lain untuk mengganti sistem saat ini dengan sistem yang terbukti berhasil yaitu tiada lain sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Waallahu 'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar