Tifa at-Taqiya ...

Write your dream on the paper with a pencil hope, and let Allah erases some part to change with great story..

Senin, 24 Juni 2013

The Strong Lady

Akhir-akhir ini, karena suasana yang menggalau ria. Jadi vakum deh nulisnya. Tapi alhamdulillah aku nemuin artikel yang ternyata lumayan mendongkrak semangat juga. Bukan artikel tapi kisah. Mungkin ada yang pernah baca. Orang ini keren banget, apalagi buat panutan para akhwat. Khususnya yang gampang nangis kayak aku heheh.. Bisa buat cambuk diri juga..  ^.^. Dan buat para cowok, harusnya malu pas baca cerita ini.

Semoga kita bisa menjadi Sang Mutiara Kebangkitaann..! Amiiin. Enjoy it!

                                                      
                                                 Nusaibah binti ka'ab ' Singa Betina'



Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara  musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
 
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”

Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”

Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”

Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”

Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”

Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”

Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.

Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.

Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”

“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”

Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.

Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”

 Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
 

Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara  musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara  musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf

a berkuta

Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara  musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara  musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara  musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Hari itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara  musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar