Tifa at-Taqiya ...

Write your dream on the paper with a pencil hope, and let Allah erases some part to change with great story..

Kamis, 07 November 2013

Opera Sabun Para Politikus



Euforia pesta demokrasi mulai terasa. Berbagai pasangan caleg berlomba-lomba menuju panggung lakon utama  dalam demokrasi. Terlihat, satu-persatu berbagai partai di negeri ini merulis daftar caleg yang di usulkan dalam pemilu legislatif 2014 nanti. Begitu pun pemilihan presiden yang juga diselenggarakan 2014 nanti. Masing masing calon menunjukan kekuatan masing-masing. Mengklaim sebagai calon terbersih dan pro rakyat. Kini pemilu pun tak lebih dari iklan kosmetik wanita.

Setiap calon memasarkan keunggulannya . Saling menyindir satu sama lain. Seakan-akan rakyat butuh iklan murahan pencuci mata.  Lalu apakah rakyat buth itu ?, Tidak , rakyat membutuhkan pemimpin yang siap mempertanggung jwabkan kepemimpinannya. Nyatanya, sebelum menjadi presiden ataupun anggota legislatif saja, para calon melakukan hal ‘bodoh’ demi mendapatkan suara rakyat. Membuat kaos untuk rakyat, Iklan di televisi, membuat lagu , bahkan yang lebih menggelikan adalah memasang nama calon presiden beserta partai pengusung di hewan qurban . 


Tentu dari fakta ini,  jelas terliat bahwa kini menjadi wakil dan pemimpin rakyat dianggap sebagai ajang kompetisi semata serta lahan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Bukan semata-mata untuk kemaslahatan umat. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, harus dibodohi dengan promosi kurang cerdas dari para penguasa kita. Tak heran,  banyak rakyat yang memutskan untuk golput alias tidak memilih. Sebab ,memilih bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan saat ini.

Ini sangat berbeda dengan kondisi kekhalifah khulafaur rosyidin setelah Rasulullah meninggal. Jangankan membuat iklan ataupun promosi bodh , para sahabat justru menghindari amanah menjadi seorang khalifah. Sebab, mereka sdar bahwa menjadi pemimpin bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh keimanan yang tinggi, tanggung jawab yang besar, serta konsekuensi yang bnyak. Muali dari pengorbana, tenaga ,waktu , pikiran, keluarga bahkan harta kita sendri.

Tentu kita masih ingat cerita dari Khalifah Umar bin Khatab, bahwa ada seorang nenek yang tidak tahu bagaimana umar. Sehingga tak sengaja keluh kesah nenek tersebut terdengar oleh umar. Lihatlah fakta yang kita dapat di Indera saat ini, para penguasa layaknya para model yang diatas catwalk berusaha untuk tampil paling cantik. Tak ada bedany dengan ajang pencarian bakat yang berlomba-lomba untuk tampil eksis diatas panggung. Melakukan adengan sandiwara tak berujung layaknya opera sabun demi mendaptkan perhatian rakyat.

Lucunya kini rakyat yg memilih golput justru di hina dan disindir habis-habisan. Padahal ,adalah sangat wajar melihat kondisi perpolitikan di Indonesia rakyat lebih memilih untuk tidak memilih. Rakyat kini mulai sadar bahwa tak ada satupun dari calon presiden yang mengajukan diri merupakan pasangan yag layak. Rakyat kini sudah kebal dengan berbagai janji -janji yang diumbar murah oleh para petinggi negeri ini. Nyatanya, meski sudah 6 kali berganti presiden , negeri ini tak kunjung membaik. Justru semakin menuju kehancuran.

Oleh karena itu, solusi dari permasalahan di Indonesia yang begitu kompleks bukanlah mengganti rezim semata. Melainkan mengganti sumber permasalahan di negeri ini, yaitu Sistem Demokrasi. Yaah, sekilas pernyataan ini sunguh sangat radikal. Namun, sadarkah kita  ? bukankah yang menyebabkan SDA di negeri ini habis dijual karena demokrasi ?. Bukankah kesejahteraan rakyat diambil atas nama demokrasi ?. Bukankah uang rakyat diperas atas nama demokrasi ?.  Yaa, semua karena demokrasi.

Demokrasi yang katanya sebuah konsep pemerintahan dari Rakyat, oleh Rakyat, untuk Rakyat nyatanya hanyalah sebuah ilusi semata. Bahkan di negara asalnya demokrasi di caci maki .  Aristoteles (348-322 SM)
menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkhisme. 

Menurut Aristoteles bila Negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya “Politics”, Aristoteles menyebut demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok social dan pertarungan elit kekuasaan.
Lantas dengan apa kita mengganti sistem di negeri ini ?. Masihkah berharap pada sistem buatan manusia ?. Tentu kita tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Oleh karena itu, solusi satu-satunya ialah Islam.   Meski pernyataan ini dinilai oportunis oleh sebagian orang, namun tentunya kita tidak menafikan keberhasilan Islam dalam membangkitkan manusia.  Islam telah berhasil menjadi sebuah Ideologi yang bertahan selama 14 abad, dan telah menjadi negara Adidaya. Islam telah berhasil menyatukan keberagaman tingkat tinggi dan bersatu dalam naungan Khilafah. Oleh karena itu, berharap pada calon presiden yang baru atau siapapun dengan sistem yang sama, adalah sebuah harapan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar