Pemilu 9 april telah dilewati namun bukan berarti hawa pesta
demokrasi selesai. Masih ada 3 bulan lagi menuju pemilu presiden. Dengan
memegang hasil pemilu legislatif, partai politik pun kini merancang strategi
untuk memperebutkan Istana. Setiap lembaga survei memang punya angka yang
berbeda. Namun setidaknya semua memiliki nama yang sama tentang siapa pemenang
pemilu kemarin, diantaranya ialah PDIP, partai Golkar dan partai Gerindra.
Hasil pemilu legislatif kemarin bukanlah sekedar angka-angka
belaka. Namun menjadi harga yang sangat mahal dan menjadi modal bagaimana
parpol harus melangkah. Dalam sistem demokrasi seperti ini, khususnya siapa
yang berkuasa dia yang menang. Tentu sangat sulit bagi parpol utnuk
memperebutkan kursi di Istana seorang diri. Maka tak heran jika bulan-bulan
terakhir ini muncul istilah Koalisi.
Dalam sistem demokrasi, koalisi merupakan hal yang biasa.
Mengingat karena koalisi memang diperbolehkan dan suatu keniscayaan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, koalisi adalah kerjasama antara beberapa partai
untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen.
Pertanyaannya, lantas koalisi untuk kepentingan siapa ? rakyat kah atau
hanya partai kah ?
Koalisi yang disebut-sebut sebagai drama politik, merupakan
bukti dari cacatnya sistem politik di negeri ini. Mengapa demikian ? Adanya
istilah koalisi , menunjukan bahwa ideologi serta visi misi untuk membangun
partai bukanlah hal yang penting. Lihat
saja, partai yang sebelumnya merupakan oposisi, kini merapat bak kawan. Partai
se-ideologi enggan berkawan dengan alasan kuota suara. Belum lagi partai dengan
platform Islam, tak punya arah dalam menentukan kawan. Bahkan salah satu partai
kini tengah konflik akibat ribut menentukan koalisinya.
Sangat nampak, bahwa hal terpenting dalam sistem demokrasi hanyalah
perolehan suara. Padahal disisi lain, banyak rakyat yang memilih bukan atas
kesadaran politik melainkan hanya menggugurkan kewajiban. Tak sedikit pula yang
memilih karena money politic. Walhasil, demokrasi tak bisa menjamin
figur yang menjadi pemimpin kelak merupakan sosok terbaik.
Lantas apa yang bisa diharapkan dengan sistem politik
seperti ini ? . Demokrasi sejatinya hanya berbicara penuh pada kekuasaaan.
Kesejahteraan rakyat ? itu masalah nanti. Lihat saja , setiap pemilu tak ada
perubahan yang terjadi. Hanya sekedar perubahan rezim atau personal saja.
Cengkaraman asing ? kemiskinan ? masih terus berlanjut.
Tentu saja, hal ini tidak akan terjadi dalam sistem
pemerintahan Islam. Dalam Islam tidak ada istilah koalisi, sebab komponen utama
yang diperhatikan adalah kapabilitas serta seberapa kuat ideologi Islam
menancap dalam figur tersebut. Selain itu, koalisi juga tidak mungkin terjadi
sebab semua partai harus memiliki ideologi yang sama yaitu ideologi Islam.
Tugas pun tentu berbeda, partai politik memiliki peran ditengah-tengah
masyarakat untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Hal ini didasari oleh salah satu
firman Allah swt.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar dan merekalah
orang-orang yang beruntung “ (TQS Ali Imran : 104)
Maka wajar,jika dalam sistem pemerintahan
Islam iklim pemerintahan yang diciptakan pun begitu sehat. Bagaimana tidak
? proses pemilihan dipilih bukan dari
kekuasaan melainkan kapabilitasm, serta setelah menjabat pun terdapat partai
politik yang tidak haus akan kekuasaan melainkan berfungsi untuk mendukung
pemerintahan dengan melakukan aktifitas amar-ma’ruf nahi munkar.
Lantas melihat sehatnya serta kegemilangan
Islam dalam menciptakan stabilitas politik dan kesejahteraan rakyat, apa lagi
yang kita tunggu ? Telah nyata, perubahan yang ditawarkan demokrasi tak mampu menghantarkan
negeri ini kearah yang lebih baik. Saat
nya untuk mengganti sistem demokrasi yang merusak dengan sistem Islam. Hanya dengan Islamlah , Indonesia mampu
menjadi negeri yang sejahtera dan mulia. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar