Semoga kita bisa menjadi Sang Mutiara Kebangkitaann..! Amiiin. Enjoy it!
Nusaibah binti ka'ab ' Singa Betina'
Hari itu
Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar
tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara musuh di
sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan Suaminya dengan
halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya serangan musuh. Said segera
bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah
menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah,
Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya
Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan
berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna
lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah
memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir
terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu
sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku
untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan
darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali
datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau
bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya
aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar
itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku
tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena
pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak
nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak
panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu
akbar!”
Nusaibah
merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,”
ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih
tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan
perang.”
Sang utusan
mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah
tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan
tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah
pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan
keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan
mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan
rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun
segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang
bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat,
ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka,
tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat
senjata orang kafir.
Timbul
kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi
terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah
tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang
prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia
mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang
kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat
putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh
pasukan.
Tak lama,
Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa
ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya
bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya.
Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau
tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu
Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau
masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau
menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah
payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang
dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung
juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya
membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba
langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang.
Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya,
“Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para
malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan
arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti
Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak
hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di
akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela
rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
Hari
itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat
di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara
musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan
Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya
serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah
pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Hari
itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat
di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara
musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan
Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya
serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah
pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
a berkuta
Hari
itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat
di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara
musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan
Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya
serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah
pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Hari
itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat
di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara
musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan
Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya
serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah
pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Hari
itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat
di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara
musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan
Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya
serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah
pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Hari
itu Nusaibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat
di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh serangan tentara
musuh di sekitar Gunung Uhud.Dengan bergegas, Nusaibah membangunkan
Suaminya dengan halus dan lembut lalu mengingatkan akan datangnya
serangan musuh. Said segera bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah
pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah ditemani kedua anaknya, Amar (15 thn) dan adiknya Saad (13 thn). Tak lama datang seorang pengendara kuda yang memberitahukan berita suka akan syahidnya Said. Nusaibah tertunduk sebentar, “*Inna lillah*…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nusaibah memanggil Amar memintanya ikut bertempur bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi. Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam kembali datang dan mengabarkan berita suka akan syahidnya Amar. “Apakah Engkau bersedih?” tanya utusan. Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Di arena pertempuran, pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Nusaibah merasa tidak punya apa-apa lagi untuk membela Rasulullah. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Rasulullah pun berkata dengan senyum kepada Nusaibah yang datang mengutarakan keinginannya. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Nusaibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba menggelinding di belakangnya kepala seorang tentara Islam terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga seorang kafir mengendap dari belakang dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Dan tertinggal oleh pasukan.
Tak lama, Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu menemukan seonggok tubuh Nusaibah yang dikenalinya bergerak-gerak dengan payah. Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nusaibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”
Driser di hari Ibu ini, Nusaibah layak kita sejajarkan dengan Siti Aisyah atau Siti Khadijah sebagai teladan muslimah. Seorang Ibu sejati tidak hanya memikirkan kesuksesan anaknya di dunia, tapi juga tempat kembalinya di akhirat. Seorang ibu sejati tidak hanya berkutat ngurus rumah, tapi juga siap membela rasulullah dan ambil bagian dalam dakwah. Seperti Nusaibah.
- See more at: http://drise-online.com/nusaibah-binti-kaab-singa-betina.htm#sthash.RrojMaui.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar