Berbicara tentang pemilihan
pemimpin, sejatinya pemimpin ialah yang dikenal masyarakat dan memiliki
kapabilitas. Namun, bagaimana jika calon tak memiliki kapabilitas namun populer
? Dengan politik pencitraan semuanya bisa teratasi. Lihat saja, iklan politik
banyak diputar dibeberapa stasiun TV. Bahkan, di sebuah stasiun televisi pernah
ditayangkan acara reality show yang merekam aksi “blusukan” salah seorang calon
presiden, hal tersebut demi meraih simpati rakyat dan mendongkrak popularitas
sang calon. Popularitas seolah menjadi syarat utama bagi para calon presiden
dan calon anggota legislatif. Terbukti, dalam pemilu 2009 popularitas semata
mampu menghantarkan para calon ke posisi yang diharapkan. Urusan kapabilitas?
Jarang menjadi sorotan.
Setidaknya ada 2 hal yang membuat
hal ini terjadi. Pertama, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis
kepimimpinan. Dimana masyarakat lebih sering disodorkan protet pemimpin yang
arogan , sewenang-wenang, koruptor dll.
Seringkali disakiti, membuat masyarakat menginginkan sosok pemimpin yang
ramah , terlihat dekat dengan rakyat, wong cilik dll. Melihat kondisi ini,
praktis parpol pun tak perlu repot-repot . Cukup menyodorkan calon yang
bermodal ‘tampang pintar’, ‘empati’ dan rajin blusukan , maka parpol pun
dapat meraup suara yang banyak dari masyarakat.
Kedua, sistem saat inilah yang
mengkondisikan fenomena ini terjadi. Demokrasi yang saat ini diterapkan tidak
memiliki kriteria pasti dalam memilih calon pemimpin. Sehingga wajar, calon
pemimpin yang akan diusung pun pasti akan disesuaikan dengan permintaan pasar. Demokrasi
juga tidak punya sistem yang selektif dalam mencari calon pemimpin . Sebab di alam demokrasi , siapapun
berhak bersuara , bahkan menjadi pemimpin tanpa melihat statusnya, ilmu, dan
kemampuannya. Maka saat ini wajar , jika suara seorang gay sama dengan seorang
ulama. Oleh karena itu, sulit menemukan
sosok pemimpin yang ideal dalam politik praktis demokrasi saat ini.
Tentunya ini sangat berbeda
dengan Islam. Dalam Islam, aspek kapabilitas merupakan hal yang sangat penting
dan menjadi hal yang utama. Islam telah mensyaratkan 7 kriteria bagi para calon
pemimpin (Khalifah) : Muslim, Laki-laki, baligh, berakal, adil, mampu merdeka (bukan budak). Dimana, seorang pemimpin harus menempatkan
segala permasalahan sesuai dengan hukum syara’ . Sehingga urusan rakyat mampu
terurusi dengan baik sesuai dengan aturan islam, dan otomatis mampu
menghasilkan kesejahteraan.
Bahkan pada zaman kekhalifahan
Umar bin khattab , masyarakat tidak mengenali bagaimana rupa sang
khalifah. Begitu pun kedekatan terhadap
masyarakat, kedekatan pemimpin dan
masyarakat bukanlah hal yang langka pada zaman daulah dahulu. Sebab, seorang
khalifah sudah biasa memanggul bahan makanan, mengunjungi rumah-rumah warga,
dll.
Sosok pemimpin dan kepemimpinan
yang berkualitas tak lepas dari adanya sebuah sistem yang mampu mencetak dan
menyeleksinya dengan baik. Semua itu merupakan hasil diterapkannya Islam secara
kaffah dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, melihat fakta demokrasi
yang tidak mampu menghasilkan sosok
pemimpin yang kapabel , maka tidak ada kata lain untuk mengganti sistem
saat ini dengan sistem yang terbukti berhasil yaitu tiada lain sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Waallahu 'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar